Jumat, 07 Oktober 2011

PELUANG DAN TANTANGAN USAHA AGROINDUSTRI KARET

peluangusahakaret Karet (rubber) merupakan produk unggulan subsektor perkebunan di Indonesia bersama kelapa sawit, kelapa, tebu, kakao, kopi, teh, tembakau dan kapas. Di sektor perdagangan, karet dan produk karet juga termasuk sepuluh komoditas utama yang diprioritaskan pengembangannya baik untuk pasar domestik maupun ekspor. Di Indonesia, tanaman karet (Hevea brasiliensis) telah dibudidayakan dalam pola perkebunan sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda. Hingga sekarang, pertanaman karet masih dikelola dalam pola perkebunan yang terdiri atas perkebunan rakyat, perkebunan besar negara, dan pekebunan besar swasta. Ditunjang oleh faktor kondisi tanah dan iklim yang sesuai, tanaman karet di Indonesia dapat tumbuh subur sehingga produksinya terus meningkat. Menurut catatan Ditjen Perkebunan, Departemen Pertanian, saat ini luas areal perkebunan karet alam Indonesia mencapai sekitar 3,47 juta ha yang terdiri atas 2,932 juta ha (84,5%) areal perkebunan rakyat, 250 ribu ha (7,2%) areal perkebunan besar negara, dan 288 ribu ha (8,3%) areal perkebunan besar swasta. Adapun produksi hingga tahun 2008 adalah sebesar 2.921.872 ton yang berasal dari perkebunan rakyat sebesar 2.366.716 ton (81%), perkebunan besar negara sebesar 262.969 ton (9%), dan dari perkebunan besar swasta sebesar 292.187 ton (10%). Sementara untuk tahun 2009 ini, total luas areal perkebunan karet Indonesia diperkirakan bertambah menjadi 3.524.583 hektar dengan total produksi ditargetkan mencapai 3.040.111 ton.

Salah satu kendala peningkatan produksi karet di Indonesia adalah banyaknya tanaman karet yang kondisinya sudah tua atau rusak (berusia di atas 20 tahun). Selain itu, tingkat produktivitas tanaman masih rendah, karena sebagian besar berasal dari benih sapuan, bukan klon unggul. Terutama di perkebunan rakyat, penggunaan benih klon unggul rata-rata baru mencapai 40%.

Sejalan dengan program revitalisasi pertanian yang dicanangkan pemerintah, strategi peningkatan produksi karet dilakukan melalui revitalisasi perkebunan yang mencakup perluasan areal, peremajaan dan rehabilitasi tanaman. Program ini telah berjalan sejak tahun 2006, dengan sasaran areal tanaman karet hingga tahun 2010 seluas 213.000 ha yang merupakan usulan dari 11 provinsi. Apabila lahan tersebut dioptimalkan melalui peremajaan, diharapkan produksi karet akan meningkat sekitar 20 – 30%.

Sedikit berbeda dengan catatan Ditjen Perkebunan, menurut Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo), bahwa pada tahun 2008 produksi karet alam Indonesia mencapai sekitar 2.636.000 ton. Namun, baik data Ditjen Perkebunan maupun Gapkindo, keduanya telah menempatkan Indonesia sebagai negara produsen karet peringkat kedua di dunia setelah Thailand. Indonesia memberikan kontribusi sebesar 28% terhadap produksi karet alam dunia.

Akhir-akhir ini, produksi karet di Thailand menunjukkan tren penurunan, sementara produksi karet Indonesia diperkirakan terus meningkat dengan pertumbuhan rata-rata sekitar 5% per tahun. Apabila kondisi tersebut terus berlangsung, maka pada tahun 2015 Indonesia diprediksi menjadi negara produsen karet terbesar dunia.

Gapkindo juga menyebutkan bahwa total ekspor karet Indonesia pada tahun 2007 adalah sebesar 2,4 juta ton atau senilai US$4,9 miliar dengan pertumbuhan 10% dibanding dengan tahun 2006. Angka sementara total ekspor karet tahun 2008 mencapai 2,5 juta ton atau senilai US$6 miliar dengan pertumbuhan 4% dibanding tahun 2007.

Untuk tahun 2009, International Tripartite Rubber Council (ITRC) yang terdiri atas tiga negara peringkat atas eksportir karet dunia (Thailand, Indonesia dan Malaysia), sepakat untuk mengurangi volume ekspor karet alam sebesar 915.000 ton atau 16% dari total volume ekspor tahun 2008. Kesepakatan tersebut merupakan hasil pertemuan ke-14 ITRC pada akhir 2008 lalu. Tujuan pengurangan volume ekspor adalah untuk menjaga stabilitas harga karet dunia yang terus melorot ke level di bawah US$2 per kg, menyusul pelemahan produksi industri yang berbahan baku karet alam sebagai dampak dari krisis global.

Sebagai respons atas kesepakatan yang kurang kondusif tersebut, Indonesia akan memangkas produksi karet alam sekitar 30% dengan menekan frekuensi penyadapan. Menurut Menteri Pertanian, Anton Apriyantono, karet bisa disimpan di pohon. Pengurangan frekuensi penyadapan akan menurunkan suplai ke pasar internasional sehingga harga komoditas ini diharapkan dapat kembali ke level US$2 per kg atau lebih.

Namun, keputusan Menteri Pertanian tersebut tidak sepaham dengan Association of Natural Rubber Producing Countries (ANRPC). Menurut Sekjen ANRPC, Djoko Said Damardjati, mengurangi produksi hingga 30% bisa menjadi bumerang. Indonesia bisa kehilangan pasar, karena sekitar 94% karet alam dunia diproduksi hanya oleh sembilan negara. Jika Indonesia memangkas produksi hingga 30%, maka pangsa pasarnya berpotensi diisi oleh negara produsen lain. Dengan demikian, Indonesia bisa kehilangan dua hal, yaitu kehilangan pangsa pasar dan kehilangan pendapatan, karena keputusan penurunan produksi belum tentu dapat menaikkan harga.

Sekjen ANRPC justru mengusulkan agar Indonesia dapat memanfaatkan potensi pasar dalam negeri yang cukup besar untuk menyiasati lesunya pasar ekspor. Apabila pemerintah dapat mendorong konsumsi di dalam negeri untuk produk lokal berbasis karet, maka industri dalam negeri akan tumbuh. Misalnya industri ban kendaraan bermotor yang sangat jelas menggunakan bahan baku karet alam paling besar. Sementara pengembangan industri non-ban yang tetap menggunakan bahan baku karet meliputi industri pembuatan kasur (matras), alas sepatu, isolasi listrik, tambang pipa, kondom, dan sarung tangan.

Artikel Terkait:

PEREMAJAAN DAN PERLUASAN PERKEBUNAN KARET dalam Tuntutan Peremajaan Perkebunan Karet RakyatKINERJA INDUSTRI KARET INDONESIA Ketersediaan Lahan Perkebunan KaretJENIS-JENIS KARET ALAM DALAM USAHA AGROINDUSTRI KARETDukungan Kebijakan dalam Revitalisasi Perkebunan KaretPotensi Industri Pengolahan Karet : Klaster industri pengolahan Karet

View the original article here

0 komentar:

Posting Komentar